TEKNOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
PENDAHULUAN
Pada bagian pertama tulisan ini, akan dipaparkan terlebih dahulu bagian yang mempunyai arti yang luas dan bersifat makro, yaitu tentang persoalan yang dihadapi oleh manusia di planet bumi ini, dan kemudian memberikan landasan mengapa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu diwujudkan. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa teknologi untuk pembangunan berkelanjutan akan memiliki peran yang penting dalam mewujudkan hal tersebut. Di samping itu, pengertian tentang teknologi tersebut akan dipaparkan secara singkat.
Selanjutnya, pada bagain akhir makalah, disampaikan aplikasi teknologi untuk pembangunan. Diskusi tentang teknologi tersebut dibatasi hanya pada tiga hal, yaitu perubahan pada sumber energi primer, perubahan bahan baku dan menghindari terjadinya produk samping dan emisi.
PEMBAHASAN
Bagaimana Masa Depan Kehidupan Manusia di Bumi Ini ?
hCarbon Dioxide Levels Rise hMercury Climbs hOceans Warm hGlaciers Melt hSea Level Rises hSea Ice Thins hPermafrost Thaws hWildfires Increase hLakes Shrink hLakes Freeze Up Later hIce Shelves Collapse hDrought Linger hPrecipitation Increases hMountain Stream Run Dry hWinter Losses Its Bites hSpring Arrives Earlier hAutumn Comes Later hPlants Flower Sooner hMigration Times Vary hHabitat Change hBirds Nest Earlier hDiseases Spread hCoral Reefs Bleach hSnow packs Decline hExotic Species Invade hAmphibian Disappears hCoastlines Erode hCloud Forests Dry hTemperatures Spike at High Latitudes.
(What in the World Is Going On? National Geographic, September 2004)
Bumi tempat manusia berpijak adalah planet yang dinamis. Energi dari matahari, panas bumi, dan pergerakan air menciptakan benua, gunung, lembah, daratan, dan dasar samudera. Proses perubahan yang terus berlangsung tidak hanya memfasilitasi kehidupan di atasnya, tetapi juga menciptakan bencana. Saat ini, bumi memiliki fungsi selain sebagai ruang dan sumber daya alam, yaitu sebagai “Bak Sampah”. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya populasi penduduk dunia dan memburuknya kondisi lingkungan.
Meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk dunia telah menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam termasuk udara, air, tanah, dan keanekaragaman hayati. Kehidupan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hingga saat ini pada umumnya masih mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal terutama untuk keperluan bahan baku industri, termasuk industri kimia, yang juga menghasilkan limbah yang mengotori bumi. Dan apabila proses eksploitasi ini tidak dikendalikan dan limbah yang dihasilkan belum ditangani secara serius, maka akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Pembangunan saat ini pun belum memuat pertimbangan lingkungan yang memadai. Namun, upaya pencegahan sudah mulai dilakukan melalui berbagai aturan perundangan mengenai lingkungan. Di samping itu, kemiskinan di selatan dan kemapanan di utara cenderung merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber daya alam. Dengan demikian, memahami bumi dan proses yang terjadi di dalamnya adalah mutlak agar manusia dapat bertindak bijaksana. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga kapasitas lingkungan agar dapat melakukan fungsi-fungsinya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di bumi sudah sepatutnya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bumi. Populasi manusia di bumi telah melampaui 6 miliar jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mencapai 8 miliar jiwa pada tahun 2020. Untuk mendukung jumlah manusia sebanyak itu, beban bumi akan semakin berat, terutama dalam penyediaan sumber daya alam dan untuk memberikan lingkungan yang berkualitas layak.
Sepanjang menyangkut lingkungan hidup dan/atau sumber daya alam (SDA), manusia sebenarnya dihadapkan pada suatu tantangan berat. Tantangan adalah suatu keadaan atau kondisi yang menghadapkan manusia pada suatu masalah, tetapi pemecahannya memerlukan suatu kemampuan baru (yang masih harus dicari dan dikembangkan). Tiga tantangan yang paling menonjol yang digarisbawahi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi 1992 di Rio de Janeiro adalah :
- Pesatnya laju pertumbuhan populasi manusia di bumi.
Pertumbuhan penduduk dunia meningkat pesat seperti yang disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Pertumbuhan dan proyeksi penduduk dunia, 1950 – 2050
Sumber : Population Division of the Department of Economic and Social Affairs
of the United Nations Secretariat (2004), http://esa.un.org/unpp
- Bumi telah terbelah menjadi dua dunia yaitu :
· Dunia Utara sebagai negara industri maju yang jumlah penduduknya relatif sedikit, kurang dari 20% penduduk bumi seluruhnya. Namun, konsumsi sumber daya alam secara umum dapat mencapai 40 kali dari dunia selatan.
· Dunia Selatan yang terdiri atas negara sedang berkembang. Mereka masih dicengkeram oleh kemiskinan dan keterbelakangan sedemikian rupa sehingga kehidupan bagi mereka adalah suatu perjuangan untuk mempertahankan keberadaan atau eksistensi belaka. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila mereka tidak memperdulikan persoalan lingkungan.
- Perkembangan Iptek yang secara umum masih berciri eksploitatif, menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi, dan tidak hemat energi. Hal tersebut memberikan tekanan yang tinggi terhadap ekosistem di bumi.
Apabila ketiga tantangan tersebut tidak mampu kita jawab, maka berbagai masalah akan merongrong tidak hanya bagi manusia tetapi juga seluruh makhluk hidup yang berada di bumi. Beberapa dampak, yang telah diidentifikasi sejak KTT di Rio de Janerio 1990, apabila tantangan-tantangan tersebut tidak terjawab adalah :
- Bumi akan mengalami krisis untuk memperoleh air bersih, dalam arti tidak hanya kuantitas namun juga kualitas.
- Berkurangnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan keperluan hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengalihan pemanfaatan lahan pertanian menjadi lahan untuk non-pertanian dan meluasnya pembentukan lahan kritis sebagai akibat pemanfaatan lahan pertanian yang tidak memerhatikan upaya pemeliharaan kesuburan tanah. Hal-hal tersebut berakibat pada penggurunan, pengikisan, dan pelongsoran.
- Menipisnya luas kawasan hutan secara global karena tuntutan akan kebutuhan lahan non hutan. Yang dikhawatirkan adalah menurunnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, baik dalam bentuk jenis tumbuhan dan satwa liar maupun juga ekosistem dan plasma nutfah.
- Terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pantai dan laut sebagai akibat penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing), perusakan habitat satwa laut dan terumbu karang, dan pencemaran oleh limbah dan sampah yang terbawa aliran muara sungai dari kegiatan manusia di darat.
- Peningkatan beban pencemaran ke udara atau atmosfer juga memberikan ancaman terhadap penurunan kualitas udara sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan iklim secara global (akibat menipisnya ozon dan meningkatnya gas rumah kaca), dan hujan asam. Di samping itu, jumlah dan jenis limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) meningkat yang keseluruhannya dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Gambar 2.Perubahan temperatur rata-rata tahunan secara global
Sumber : Mader (2007)
Pembangunan Berkelanjutan
Sustainable development: "Development that meets the needs of present without compromising the ability of future generations to meet their own needs." The World Commission on Environment and Development, Brundtland Commission, 1987
Pola pertumbuhan perkembangan ekonomi atau parameter lainnya, seperti populasi, dapat dilukiskan seperti pada Gambar 3. Memperhatikan pola pertumbuhan pada gambar tersebut, keadaan dunia saat ini berada pada garis hitam-penuh yang sedang menanjak, terutama dari segi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Sampai kapankah pertumbuhan ini akan terus berlanjut?
Dengan memerhatikan tanda-tanda yang terjadi di bumi ini dan tantangan yang telah dikemukakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, tampaknya tidak mudah diatasi oleh umat manusia, yang terjadi adalah masa depan yang buruk bagi kehidupan manusia. Prediksi yang terjadi adalah seperti yang digambarkan oleh garis merah-penuh pada Gambar 3. Yaitu, terjadinya bencana yang menimpa umat manusia. Keadaan seperti ini haruslah dihindari dengan berbagai cara dan usaha.
Usaha yang harus dilakukan adalah bagaimana mengatur berbagai upaya untuk mencapai kesetimbangan di bumi ini. Pencapaian kesetimbangan yang dapat menunjang kebutuhan manusia saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan, dikenal sebagai “Keberlanjutan”, dan masyarakat yang berusaha menciptakan kondisi seperti itu disebut sebagai “Masyarakat yang Berkelanjutan” (Sustainable Society).
Gambar 3. Pola pertumbuhan pembangunan secara umum
Sumber: Suzuki (2006)
Bagaimana mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan adalah tantangan besar bagi umat manusia saat ini, yang harus segera dijawab dan diwujudkan. Namun, kriteria apakah yang dapat diterapkan bagi suatu usaha, tindakan, atau kegiatan dalam mewujudkan keberlanjutan tersebut? Kriteria yang digunakan oleh UNFCC (United Nation Framework on Climate Change) dalam mempertimbangkan keberlanjutan suatu proyek atau kegiatan adalah memenuhi 3-P. Arti dari 3-P adalah Planet, Profits, and Persons. Atau dengan kata lain, keberlanjutan tersebut harus mempertimbangkan keberlanjutan dari sisi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial. Secara diagram ketiga kriteria tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Kriteria dalam pembangunan yang berkelanjutan
Sumber : DSM (2005)
Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, peranan teknologi tidaklah dapat diabaikan dan dikesampingkan, akan tetapi dengan tantangan yang besar. Mulder (2006) mengungkapkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan, efisiensi lingkungan produksi dan konsumsi suatu teknologi atau produk rata rata harus mencapai faktor 32,4. Dalam perhitungan tersebut diasumsikan dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi pada tahun 2050 adalah separuh dari tahun 2000, jumlah penduduk dunia sebesar 1,5 kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan 2000 dan negara miskin mengejar kemakmuran seperti di negara negara maju, yang berakibat pada pemanfaatan sumber daya alam sebesar 10,8 kali lipat pada tahun 2050.
Dengan melihat angka yang diprediksi tersebut, maka para industrialis, ilmuwan dan insinyur harus memikirkan perubahan teknologi dengan cara lompatan, tidak cukup hanya perubahan yang marjinal. Sejarah mencatat perubahan perubahan teknologi marjinal yang telah dilakukan manusia:
§ Pada saat awal manusia menghadapi persoalan lingkungan adalah dengan cara yang paling mudah, yaitu membuangnya di lahan kosong dan berjauhan dengan kegiatan manusia; atau mengencerkannya ke sungai atau udara.
§ Setelah pencemaran makin meningkat, kemudian diperkenalkan teknologi pengolahan limbah untuk mengurangi dampak dari limbah yang dihasilkan, dengan tidak mengubah proses produksi. Sebagian besar indusri di Indonesia masih pada tahap ini.
§ Metode penanganan limbah ternyata tidak cukup berarti (significant) untuk mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga pengurangan beban pencemaran menjadi pilihan yang diutamakan oleh banyak negara maju. Pengurangan beban pencemaran ini bukan hanya mengurangi jumlah limbah, tetapi mencakup pula perancangan-ulang proses produksi, sehingga beban pencemaran dan pengurangan biaya menjadi berarti. Terminologi yang dipakai untuk teknik ini sangat beragam, ada yang menyebutnya pencegahan pencemaran, minimisasi limbah, produksi bersih, teknologi hijau dan sebagainya.
Namun, teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan–selanjutnya disebut sebagai teknologi berkelanjutan—tidaklah cukup dengan perubahan teknologi yang bertujuan memproduksi barang dan jasa dengan meminimalkan limbah saja, teknologi yang diperlukan adalah teknologi dengan tujuan yang jauh lebih luas. Hal ini untuk memungkinkan kita untuk memenuhi kebutuhan umat manusia dengan tanpa melebihi kapasitas daya dukung dan daya tampung ekologi planet bumi ini dan mempromosikan kesetaraan kebutuhan manusia.
Teknologi Berkelanjutan mempunyai paling tidak tiga karakterisitik, yaitu: memenuhi kebutuhan umat manusia, mempertimbangkan pengaruh global dan memberikan penyelesaian jangka panjang (Mulder, 2006). Beberapa contoh yang memperlihatkan teknologi yang tidak berkelanjutan, antara lain:
§ Penggunaan pupuk kimia, yang pada awalnya dapat meningkatkan kebutuhan pangan, akan tetapi pada jangka panjang menimbulkan kerusakan tanah pertanian lokal.
§ Obat antibiotika telah dirasakan penting bagi peningkatan kesehatan manusia, tetapi penggunaannya yang sangat luas menyebabkan munculnya bakteri yang tahan terhadap obat antibiotika. Pada jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan resiko kesehatan yang luas.
Kata kunci dari teknologi berkelanjutan adalah adanya inovasi sistem yang mengubah struktur sistem teknologi. Pengertian sistem di sini bukan saja pada skala mikro akan tetapi mencakup inovasi sistem dalam skala besar yang melibatkan unsur unsur yang berkontribusi dalam menghasilkan produk dan jasa bagi konsumen. Inovasi sistem ada kalanya membutuhkan biaya investasi yang besar dan sering pula diiringi dengan kehancuran keseluruhan sistem yang digantikannya. Sebagai contoh, sistem telegraf yang dihancurkan oleh teleks, yang kemudian kedua teknologi tersebut disapu oleh mesin faks. Saat ini, kita sedang mengamati menghilangnya mesin faks yang digantikan oleh pengiriman dokumen melalui surat elektronik (e-mail).
Aplikasi Teknologi untuk Pembangunan yang Berkelanjutan
“The old paradigm works like this: we judge just about every issue by asking the question, will this make the economy larger? But, endless economic growth is built on the use of cheap fossil oil.” Bill McKibben - Penulis buku terlaris The End of Nature.
Berikut ini disampaikan tiga buah contoh inovasi sistem yang lebih rinci dalam rangka teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan (Mulder, 2006). Tiga contoh tersebut adalah
§ Mengubah penggunaan sumber energi primer dan peningkatan efisiensi energi dalam sistem produksi
§ Mengubah sumber bahan baku dan penggunaan kembali produk yang tak-termanfaatkan.
§ Menghindari terjadinya produk samping (by-products) dan emisi.
Mengubah Penggunaan Sumber Energi Primer dan Peningkatan Efisiensi Energi dalam Sistem Produksi
Pada saat ini, sumber energi primer untuk industri dan kegiatan manusia adalah bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara). Energi primer adalah energi penggerak utama yang langsung digunakan untuk suatu kegiatan. Misalnya, penggunaan bensin atau solar untuk kendaraan bermotor, penggunaan batubara/gas/minyak untuk menghasilkan uap panas (steam) untuk menjalankan mesin, memanaskan alat alat di pabrik pabrik atau untuk menghasilkan listrik dari suatu pabrik.
Dalam dekade mendatang, kita akan melihat perubahan yang besar dalam penggunaan sumber energi primer di negara industri, yaitu dengan beralih pada listrik sebagai energi primer. Beberapa negara maju mendorong lebih jauh penggunaan kendaraan bertenaga listrik yang saat ini banyak dikritik sebagai ‘kendaraan dengan emisi di tempat lain’ bukan sebagai ‘kendaraan dengan emisi nol’. Maksudnya adalah untuk menghasilkan listrik tersebut, saat ini masih dihasilkan emisi, walapun bukan pada kendaraan tersebut, tetapi terjadi di tempat pembangkit tenaga listriknya. Demikian pula proses produksi di industri beralih dengan pemakaian listrik sebagai sumber energi primer. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah penggunaan listrik sebagai sumber energi primer merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam menunjang teknologi berkelanjutan?
Jawabannya tidaklah sederhana, perlu pertimbangan yang matang dengan paling tidak mengkaji dari tiga karakteristik teknologi berkelanjutan yang telah disebutkan pada sub bagian sebelumnya. Namun, kelebihan berikut dari energi listrik sebagai energi primer perlu menjadi masukan yang berharga:
Pembangkit listrik secara umum menggunakan bahan bakar lebih efisien daripada penggunaan bahan bakar langsung di proses industri lainnya. Namun, sebagian energi (3-15%) hilang dalam jaringan transmisi dan distribusi melalui jaringan listrik (grids).
Dengan pengembangan jaringan listrik (grids) yang lebih sempurna akan meningkatkan kesempatan bagi penghasil energi dari bahan bakar yang terbarukan (renewable resources) untuk dapat menjual energi listriknya.
Polusi dari satu cerobong pembangkit listrik jauh lebih mudah dikendalikan daripada emisi dari cerobong yang banyak dari berbagai industri.
Pemakaian energi seringkali menimbulkan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan, terutama di daerah perkotaan. Pembangkit listrik dimungkinkan di tempatkan di luar daerah perkotaan, sehingga dampak pencemaran udara dapat diminimalkan.
Sumber sumber energi listrik terbarukan tersedia dalam jumlah yang cukup bagi daerah tertentu dan dapat di eksplorasi lebih jauh. Misalnya limbah biomassa, seperti di Lampung, Riau dan daerah lainya. Sumber panas bumi yang tersedia di banyak tempat di Indonesia yang sangat dimungkinkan untuk dijadikan sumber listrik.
Sumber listrik yang terbarukan lainnya memiliki potensi yang besar bila didorong dengan kebijakan yang tepat dan insentif yang memadai. Contohnya adalah tenaga surya, angin, gelombang dan lain lain.
Efisiensi pembangkit listrik dapat ditingkatkan lebih tinggi dengan mengkombinasikan panas dan energi (CHP – cogeneration of heat and power). Dalam waktu dekat, di banyak tempat di dunia termasuk di Indonesia , akan terjadi revolusi jaringan listrik (grids) di mana setiap orang bisa menghasilkan listrik (produsen) dan juga sebagai pengguna (konsumen). Untuk mencapai hal tersebut perlu penyelesaian permasalah teknis dan regulasi terlebih dahulu, agar kita semua dapat menjadi produsen dan konsumen listrik dan energi secara bersamaan.
Hal lain yang berkaitan dengan efisiensi energi, terdapat banyak kemungkinan yang potensial untuk mengurangi konsumsi energi. Proses pemanasan dan pendinginan secara jelas membutuhkan energi dalam jumlah yang besar. Padahal kebutuhan energi dalam proses proses ini sesungguhnya dapat dikurangi dengan penukar panas yang tepat. Contoh lain adalah mesin pengolah data (data servers) perlu pendinginan karena mesin menjadi panas oleh sejumlah mikroprosesor yang ada di dalamnya. Apabila kita dapat mengembangkan mikroprosesor yang membutuhkan energi yang lebih rendah, maka kita memperoleh dua keuntungan sekaligus yaitu kebutuhan energi yang rendah dan kebutuhan pendinginan yang rendah pula.
Mengubah Sumber Bahan Baku dan Penggunaan Kembali Produk yang Tak-termanfaatkan
Bahan baku utama dalam industri kimia dan proses pada saat ini masih tergantung sangat kuat terhadap bahan baku berbasis minyak bumi dan gas atau bahan yang berasal dari fosil. Penggunaan bahan baku tersebut perlu menjadi pertimbangan matang di masa mendatang.
Laporan EuropaBio tahun 2003 memuat studi yang dilakukan oleh McKinsey and Company, Oeko Institute bersama-sama dengan sebuah dewan penasehat terhadap sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang industri bioteknologi dalam rangka memberikan penilaian terhadap potensi industri bioteknologi di masa depan
Laporan tersebut memberikan indikasi bahwa pangsa pasar industri bioteknologi akan meningkat dengan tajam di seluruh bidang pada tahun 2010, terutama dalam produksi bahan kimia adi (fine chemicals). Diperkirakan, pada tahun 2010, antara 30 hingga 60% bahan kimia adi, dan antara 6 hingga 12% polimer dan bahan kimia curah (bulk chemicals) akan diproduksi dengan cara bioproses dengan bahan baku biomassa. Pada saat laporan tersebut ditulis, tahun 2003, penetrasi industri bioteknologi terhadap seluruh industri kimia sekitar 5%, diperkirakan penetrasi tersebut akan meningkat antara 10 - 20% pada tahun 2010, dan bahkan akan meningkat dengan tajam pada tahun-tahun berikutnya. Laju penetrasi tersebut bergantung pada beberapa faktor, antara lain yang akan sangat mempengaruhi adalah harga minyak mentah, harga bahan baku pertanian (biomassa), kemauan politik dari banyak pemerintahan, dan struktur dari teknologi baru ini (Bachman, 2003).
Marilah kita lihat dua faktor yang pertama, yaitu minyak mentah dan biomassa. Ketersediaan minyak mentah sudah dipastikan akan habis, walaupun perdebatan tentang waktunya tetap hangat didiskusikan oleh para ahli di bidangnya. Mengenai cadangan bahan bakar fosil, saat ini dunia dihadapkan oleh situasi yang bertolak belakang, yaitu kenyataan bahwa minyak mentah sedang dikonsumsi dengan laju yang jauh lebih cepat daripada sebelumnya, di sisi lain, cadangan-terbukti (proven oil reserve) tetap pada tingkat yang hampir sama dengan 30 tahun lalu. Ditambah lagi, cadangan-terbukti tersebut berada pada tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau. Dengan demikian, biaya untuk mengeksploitasi minyak mentah terus meningkat, dan ini ditunjukkan dengan harga minyak mentah yang terus meningkat seperti diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Harga rata-rata bulanan minyak mentah Brent
Sumber: Oilenergy.com (2010)
Produksi biomassa di bumi ini diperkirakan sekitar 170 miliar ton per tahun yang terdiri dari 75% karbohidrat, 20% lignin, dan 5% senyawa lainnya, seperti minyak dan lemak, protein, alkaloid, dan lain sebagainya. Dari nilai produksi biomassa tersebut, hanya sekitar 3,5% (6 miliar ton) saat ini digunakan untuk kebutuhan manusia, dengan rincian sebagai berikut (Soetaert dan Vandamme, 2006) :
· 3,2 miliar ton (62%) untuk kebutuhan pangan manusia, antara lain melalui peternakan hewan dan pertanian.
· 2 miliar ton (33%) untuk energi, kertas, dan kebutuhan konstruksi.
· 300 juta ton (5%) untuk memenuhi kebutuhan manusia non-pangan, seperti untuk bahan baku pembuatan pakaian, deterjen, bahan kimia, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapat ruang yang cukup lebar untuk memanfaatkan biomassa sebagai sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemanfaatan biomassa tersebut merupakan tantangan yang terbesar bagi teknologi berkelanjutan untuk menjawabnya.
Laporan McKinsey memperkirakan bahwa dengan terwujudnya industri bioteknologi yang berbasis biomassa, akan terjadi penurunan gas rumah kaca antara 17-65% (lingkungan), dan nilai potensi ekonomi industri tersebut sekitar 11-22 miliar Euro per tahun (ekonomi) pada tahun 2010. Dengan makin terwujudnya industri yang berkelanjutan, diharapkan akan membawa keuntungan ke daerah yang berbasis masyarakat (sosial). Dengan demikian, industri yang memanfaatkan Teknologi Berkelanjutan akan mendorong terwujudnya Masyarakat yang Berkelanjutan (Sustainable Society).
Dari pembahasan di atas tampak bahwa mengubah bahan baku utama pada proses industri dapat membantu mengurangi limbah, pencemaran dan penipisan dari sumber bahan baku yang tidak terbaharui secara nyata. Bila melihat pada industri konvensional, industri secara umum menghasilkan bermacam-macam limbah, yang secara prinsip limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali atau didaur ulang, akan tetapi seringkali limbah tersebut tidak termanfaatkan karena alasan alasan teknis dan ekonomi, misalnya tidak tersedianya proses yang efektif untuk memanfaatkan limbah tersebut.
Proses daur ulang yang tersedia saat ini dapat menjadi efektif secara biaya (cost effective), apabila terjadi perubahan peraturan (undang-undang) atau kenaikan harga bahan baku . Ketidaktersediaan teknologi daur ulang yang efektif secara biaya jarang sekali terjadi hanya disebabkan oleh faktor teknis, akan tetapi banyak dipengaruhi pula oleh faktor sosial. Biaya sesungguhnya dari limbah suatu proses produksi (termasuk konsumsinya) seringkali tidak dibayar oleh perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Sebagai contoh, kemasan suatu produk (katakanlah kemasan kotak dari produk susu) akan menjadi limbah domestik setelah produk tersebut dikonsumsi oleh pembeli. Lalu limbah kemasan menjadi beban masyarakat atau pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi berbeda apabila biaya pengolahan limbah kemasan menjadi tanggung jawab produsen, seperti yang diatur dalam Undang Undang Sampah No. 18 tahun 2008
Dengan adanya undang undang tersebut produsen akan mempertimbangkan apakah akan menggunakan kemasan yang sama (kemasan kotak yang sulit dihancurkan dan sulit dimanfaatkan kembali) atau kemasan yang berbeda. Produsen akan terdorong dan berpikir lebih jauh untuk mengurangi penggunaan kemasan atau mengubah kemasan atau mengubah rancangan produk untuk mengurangi limbah domestik secara nyata.
Pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang produk dan atau bahan baku , dikenal sebagai 3R (reduce, reuse and recycle) adalah hal yang sangat penting dilakukan di industri dan masyarakat. Banyak sekali contoh yang dapat dilaksanakan untuk hal tersebut, yang pada intinya adalah bagaimana melakukan siklus material (material cycle) yang tertutup sejauh hal tersebut dapat dilaksanakan dan diupayakan.
Pola pikir yang relatif baru perlu diperkembangkan dalam rangka mencegah dan mengurangi limbah industri adalah Ekologi Industri. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa industri sebaiknya mengikuti alur yang terjadi di alam, misalnya menghasil produk tanpa limbah, memanfaatkan limbah dari suatu industri menjadi bahan baku dari industri lain (waste exchange), dan lain sebagainya. Dengan demikian, sekelompok industri merupakan sistem simbiosis antara satu industri dengan industri yang lain. Contoh yang terkenal mengenai ekologi industri ini adalah di kawasan industri Kalundborg, Denmark (www.indigodev.com/Kal.html)
Menghindari Terjadinya Produk Samping dan Emisi
Menghindari terjadinya produk samping dan emisi merupakan hal teknis dan seringkali menjadi sesuatu yang terlalu detil untuk dipahami oleh masyarakat umum. Namun, hal ini menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para insinyur kimia dan ahli proses di industri dan menjadi tantangan besar di kemudian hari dalam rangka mewujudkan Teknologi Berkelanjutan.
Beberapa contoh berikut ini dikemukakan dalam Mulder (2006). Contoh pertama adalah produk isomer. Produk dari proses kimia seringkali dihasilkan beberapa isomer, yaitu senyawa dengan rumus molekul yang sama, akan tetapi memiliki stuktur molekul yang berbeda atau kedudukan suatu unsur (atau senyawa) berbeda dalam struktur ruangnya. Yang menyulitkan adalah produk yang berguna hanyalah suatu isomer tertentu, sedangkan isomer isomer lainnya merupakan produk limbah (by-products) yang tidak dapat dimanfaatkan.
Contoh dari produk isomer adalah para-phenylene-diamine(PPD) yang merupakan senyawa antara untuk menghasilkan serat aramid-kinerja-tinggi. Dalam proses produksi PPD dihasilkan senyawa isomernya dengan kuantitas yang sama (1:1) yaitu ortho-phenylene-diamine(OPD). Isomer OPD ini tidak memiliki kegunaan yang berarti, sehingga menjadi limbah yang harus ditangani. Pada tahun 1980-an, kebutuhan akan serat aramid makin meningkat, akan tetapi terhambat oleh produk samping yang harus ditangani dengan seksama. Hal ini mendorong industri penghasil serat aramid, AKZO-Nobel untuk mengembangkan proses yang secara selektif hanya menghasilkan isomer PPD. Kunci dari penelitian tersebut adalah memilih kondisi operasi dan katalis yang tepat untuk menghasilkan PPD tanpa membentuk OPD.
Contoh lainnya yang klasik, yaitu di industri pengilangan minyak bumi. Proses dalam industri pengilangan minyak bumi konvensional adalah memisahkan minyak bumi berdasarkan titik didihnya, atau disebut fraksi, yang sangat tergantung pada minyak mentah yang diolah. Fraksi yang mempunyai nilai jual tinggi adalah fraksi yang relatif ringan, dengan demikian pada pengilangan minyak bumi akan dihasilkan fraksi minyak berat (heavy oils) dan tar yang bernilai jual rendah atau seringkali menjadi limbah. Pengembangan lebih lanjut dengan teknologi konversi katalis (catalytic conversion), fraksi berat dimungkinkan dipecahkan menjadi fraksi ringan, sehingga meningkatkan keekonomian industri pengilangan minyak bumi. Bahkan, sulfur yang terkandung dalam fraksi berat dapat diambil kembali menjadi produk belerang (S) yang bermanfaat bagi industri kimia lainnya. Perubahan-perubahan seperti ini telah dan sedang dilakukan oleh industri pengilangan minyak di Indonesia, walaupun perubahan yang lebih besar lagi perlu ditingkatkan agar industri pengilangan minyak Indonesia mampu menerapkan teknologi yang mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Banyak contoh contoh lain yang berkaitan dengan menghindari produk samping dan emisi disajikan di berbagai buku rujukan, antara lain, dalam Mulder (2006). Pada intinya adalah peningkatan teknologi pengendalian proses, teknologi katalis dan perbaikan sistem manajemen lingkungan akan mampu meningkatkan efisiensi konversi bahan baku–yang langka—menjadi produk akhir yang bermanfaat dan mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bachman, R. 2003. “Industrial Biotechnology – New Value – Creation Opportunities”, McKinsey and Co., presentasi pada The Bio-Conference, New York .
DSM. 2005. “Industrial (White) Technology: An Effective Route to Increase EU Innovation and Sustainable Growth”.
EuropaBio. 2003. White Biotechnology Gateway to a More Sustainable Future, Brussels , April.
Mader, S.S. 2007. Biology, Ed. 9, McGraw Hill Int. Edition, New York .
Marshall, R. 2006. “Broader Horizons for Biomass”, Chemical Engineering, Vol. 113, No. 10, pp. 21--25.
Mulder, K. Editor. 2006. “Sustainable Development for Engineers”, Greenleaf Publishing Ltd., Sheffield .
Setiadi, T. 2007. “Peranan Teknik Bioproses dalam mewujudkan Masyarakat Berkelanjutan’, Majelis Guru Besar, ITB, Bandung .
Soetaert, W. and Vandamme, E. 2006. “The Impact of Industrial Biotechnology”. Biotechnology J., 1, pp. 756--769
Suzuki, M. 2006. “Aiming at Sustainable Society”, Half Day Seminar on Sustainable Society, ITB, Bandung , November 27.
Belum ada Komentar untuk "TEKNOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN"
Posting Komentar