Pendapat Franz Magmis Suseno Tentang Etika



FAKULTAS  ADAB DAN HUMANIORA
JURUSAN S-1 ILMU PERPUSTAKAAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR – RANIRY
DARUSSALAM,BANDA ACEH
2014




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika member manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapatdibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Pada dasarnya pengertian etika apabila diartikan intinya sama saja yaitu hal yang berkaitan dengan perilaku baik dan benar dalam kehidupan manusia. Etika merupakan dasar yang penting didalam pergaulan serta menjadi landasan penting bagi sebuah peradaban yang akan menjadi kesan mendalam dan terpatri terus di benak seseorang. Etika bukan hanya sekedar penampilan fisik, tetapi masih banyak faktor lain yang dapat mendukung seseorang untuk menampilkan sosoknya yang memiliki etika yang tinggi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Franz Magmis Suseno?
2.      Bagaimana latar pemikiran Franz Magmis Suseno?
3.      Bagaimana Pendapat Franz Magmis Suseno tentang etika?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PANDANGAN FRANZ MAGNIS SUSENO TENTANG ETIKA
I. Biografi Franz Magnis Suseno
1. Riwayat Hidup
Franz Magnis Suseno, SJ. adalah seorang Rohaniawan, lahir pada tahun1936 di Eckersdorf, Jerman. Sejak tahun 1961 tinggal di Indonesia. Ia menekuni berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, teologi, dan teori politik diPullach, Yogyakarta, dan Munchen. Gelar Doktor di bidang filsafat di raihny apada Universitas Munchen Jerman pada tahun 1973.Franz Magniz Susena sekarang adalah guru besar filsafat di sekolah tinggi filsafat Driyakarya Jakarta. Dia juga mengajar di pascasarjana Universitas Indonesia, dosen tamu pada Gexwister-School-Institut Universitas Munchen,pada Hochshule for Philosophie, Munchen Jerman, dan pada Fakultas TeologiUniversitas Insbruch Jerman.Sekitar 18 buku serta lebih dari 200 karangan populer dan ilmiyah sudahditulisnya, terutama di bidang etika, filsafat politik, dan filsafat Jawa. Antara lain, Berfilsafat Dari Konteks yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1991,didalam buku ini terdapat kedudukan filsafat maupun etika dalam kehidupanmasyarakat. Karangan yang lain adalah Wayang dan Panggilan Manusia yangditerbitkan oleh Gramedia tahun 1991, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis yang diterbitkan oleh Kanisius tahun 1992, Filsafat Kebudayaan-Politik; Butir-Butir Pemikiran Kritis yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1992, Mencari Sosok Demokrasi yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1995, dan 13 Tokoh Etika yang diterbitkan oleh Kanisius tahun 1997.1 Buku yang lain adalah Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 2001, buku ini menjelaskan tentang kehidupan orang Jawa beserta adat serta perilaku sehari-hari mereka yang penuh dengan keteraturan sebuah sistem yang melingkupi. Kuasa dan moral yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 2000, dalam buku ini mengulas tentang beberapa pertanyaan kunci etika politik kontemporer, pembangunan yang adil dan berkaitan antara keadilan sosial dan demokrasi.



2. Latar Belakang Pemikiran
Franz Magnis Suseno seorang yang menekuni berbagai bidang pengetahuan terutama di bidang filsafat banyak mempelajari dari tokoh-tokoh barat.. Ia dalam hal pemikiran tentang etika berpandangan bahwa etika bisa mencapai puncaknya yang luhur dalam humanisme-nya, karena etika secara konsekuen mengakui dan menghendaki kesamaan derajat semua orang. Etika mengajarkan bahwa terhadap siapapun hendaknya bersikap baik hati, dengan tidak memandang warna kulit, suku, budaya, dan agama. Wanita berhak atas perlakuan sama dengan pria, buruh harus dihormati hak-haknya, musuh berhak atas belas kasih dan pengampunan. Dengan kerangka berfikir seperti itu, moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap orang sebagai manusia. Dan Franz merumuskan cita-cita negara sedunia dan persaudaraan universal. Secara politik-pun ia mempunyai pandangan dan gagasan bahwa kekuasaan digunakan untuk menegakkan keadilan dan menciptakan ketentraman serta kesejahteraan rakyat. Dalam mempertahankan kekuasaan dan berpolitik itu harus tetap menjunjung pada nilai-nilai moralitas berpolitik. Kekuasaan dipandang sebagai wadah untuk memenuhi dan menciptakan ketentraman, kesejahteraan, dan keadilan kepada rakyat di sekelilingnya. Kekuasaan harus mempunyai legitimasi religius. Implikasi terpenting legitimasi religius ialah bahwa penguasa dalam menjalankan kekuasaannya berada di atas penilaian moral.
Dalam hal bernegara ia menekankan harus ada tiga sakaguru filsafat negara. Pertama, keyakinan yang pada hakekatnya bersifat religius, dalam konteks ini negara tidak berhak untuk menuntut ketaatan mutlak, manusia harus lebih taat kepada Allah dari pada manusia. Kedua, negara dalam menjalankan tugasnya terikat pada norma-norma etis dan ide keadilan adalah yang paling dasar. Ketiga, kekuasaan negara harus berjalan melalui jalur-jalur suatu sistem hukum.   Kekuasaan pada pokoknya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas hukum, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan Negara yaitu mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut penguasa bukanlah segenap orang yang duduk di atas tahta, melainkan hanyalah penguasa yang memerintah demi kesejahteraan masyarakat umum, bukan demi kepentingan sendiri. Penguasa sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyat. Dalam perjanjian itu rakyat di satu pihak berjanji akan taat kepada penguasa, di lain pihak penguasa berjanji bahwa ia akan mempergunakan kekuasaannya demi tujuan yang sebenar-benarnya yaitu untuk mengusahakan kepentingan masyarakat atau kesejahteraan umum. Dengan konsep seperti ini penguasa melihat rakyatnya sebagai manusia, tidak melihat manusia sebagai hewan dan budak yang hanya untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya.
Disamping menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan, ia juga termasuk seorang tokoh rohaniawan. Menurut pandangan Franz ada tiga hal yang dinyatakan tentang manusia yaitu :
1. Manusia diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya
Menurut pandangan Franz manusia diciptakan menurut citra Allah yang berarti; pertama, manusia tidak dapat dimengerti dari dirinya sendiri saja. Dalam segala hal yang ada pada manusia berasal dari Allah dan hanya berada dalam eksistensi-Nya, karena ia tetap ditunjang oleh kehendak Allah. Maka hanya ada satu yang berhak untuk menuntut sesuatu dengan mutlak dari manusia yaitu Allah. Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Hanya manusia yang diciptakan oeh Allah yang mempunyai akal budi dan kemauan, suara hatidan kebebasan, agar dapat dan harus mempertanggungjawabkan kehidupannya.
2. Manusia tempat salah dan dosa
Karena manusia dapat bertanggungjawab, ia juga dapat bersikap tidaktanggungjawab. Artinya, manusia dapat berdosa apabila tidak melakukansikap tanggungjawabnya.
3. Manusia diselamatkan oleh Allah karena sifat rahim-Nya.
Manusia diberi petunjuk dan diselamatkan dari kesesatan itu karenasifat kerahiman Allah terhadap manusia. Kasih sayang Allah adalah kenyataan paling hakiki dalam kehidupan manusia.
II. Pandangan Franz Magnis Suseno Tentang Etika
1. Etika dan Moral
Menurut Franz Magnis Suseno etika adalah sebagai usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup,apabila ia menjadi baik.ia juga berpendapat bahwa etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilahistilah moral. Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Pada zaman Yunani (Plato) orang mengartikan baik dan buruk itu merupakan keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama dari pada suatu aturan abadi. Hukum tidak abadi dan tidak berlaku umum, melainkan berdasarkan kesepakatan dan berbeda di tempat yang berbeda. Tokoh lain yang mengutarakan tentang pengertian etika adalah Aristoteles. Etika menurutnya adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan.
Tujuan etika bukanlah dispisisifikan kepada pengetahuan, melainkan praxis, bukan mengetahui apa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik. Pendapat ini bertentangan dengan Franz yang menganggap bahwa etika merupakan ilmu yang sistematis. Dalam etika dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri bersifat netral. Tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah.Aliran deontologist yang dianut oleh Immanuel Kant ternyata juga mempengaruhi pendapat Franz Magnis tentang etika. Menurut aliran deontologis dan Franz, ini mempunyai pendapat yang sama dalam memandang bahwa etika memberikan pengertian agar segala tindakan moral manusia baik. Kesamaan pandangan terdapat pula pada pendapat Franz yang menyebut bahwa akibat dari tindakan tersebut mempengaruhi pendapat seseorang tentang kebaikan. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa untuk berhati-hati dan diarahkan pada kebaikan.
Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. pada zaman ini pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, maka para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakankembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku pula pada zaman sekarang ini. Persoalan yang muncul bukan hanya menbedakan antara kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa-apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap harga nyawa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda satu sama lain. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandanganpandanagan moral ini diperlukan refleksi kritis etika. Frans berpendapat bahwa etika bukanlah suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiaran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Karena etika yang merupakan pemikiran secara filsafat itu mempunyai lima ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan pada rasio (akal), argumentasi keilmuanya selalu siap untuk dipersoalkan tanpa pengecualian. Kritis berarti bahwa filsafat selalu meragukan sesuatu sehingga menimbulkan rasa ingin tahu, sedangkan mendasar berarti bahwa filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai seakarakarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis adalah ciri khas pemikiran ilmiah. Pemikiran rasional, kritis dan mendasar, disusun langkah demi langkah secara teratur dan tertata dengan rapi. Normatif berarti tidak sekedar melaporkan pandangan moral, melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
Dengan cara pandang dan berfikir di atas, etika disini yang dimaksudkan adalah merupakan filsafat moral, atau suatu pemikiran secara rasional, kritis, mendasar dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika memberikan pengertian mengapa seseorang mengikuti moralitas tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan berbagai moralitas. Dalam masalah norma-norma moral yang ada dalam masyarakat sangat pluralis, dan mereka yang melakukan serta menganut moralitas tertentu telah mengklaim bahwa yang dilakukan adalah perbuatan yang sudah bermoral, begitu juga dengan orang lain yang hidup dalam suatu masyarakat bahwa perbuatan mereka masing-masing sudah bermoral. Dalam menghadapi realitas semacam itu Franz berpandapat harus ada jalan keluar ataupun alat yaitu etika. Etika di sini digunakan alat untuk mengetahui mengapa seseorang mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai moralitas. Manusia hidup di dunia menjadi makhluk sosial, yang sudah menjadi hukum alam, mereka setiap hari akan berinteraksi dengan orang-orang dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda. Manusia juga akan berhadapan dengan sekian banyak  pandangan moral yang saling bertentangan dan semua mengajukan klaim kebenaran mereka masing-masing. Mana yang harus diikuti, yang diperoleh dari orang tua, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa. hal ini merupakan sebuah pertanyaan yang akan dijawab ketika manusia tersebut sudah mempelajari etika Menurut Franz etika tidak menghasilkan secara langsung tentang kebaikan, akan tetapi menghasilkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung membuat manusia menjadi baik, namun memberikan pengertian tentang berbuat baik. Tujuan dalam mempelajari etika adalah membuat mereka lebih dewasa dan kritis mengenai bidang moral. Disfungsi antara moral dan etika perlu dipertegas. Ajaran moral menjawab pertanyaan “bagaimana sesorang harus hidup?”, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Dalam konteks ini, ajaran-ajaran moral mengajukan tentang norma-norma pandangan hidup yang harus diarahkan, sedangkan etika menjawab pertanyaan “bagaimana pertanyaan moral tersebut diatas harus dijawab?” Etika tidak langsung mengajarkan apa yang wajib dilakukan oleh seseorang, melainkan bagaimana pertanyaan itu dapat dijawab secara rasional, dan dapat dipertanggung jawabkan.16 Seorang ahli moral akan lebih bersikap seperti seorang guru ataupun pendeta, mereka akan didatangi oleh para umatnya yang mengalami permasalahan dalan hidupnya. Sedangkan ahli etika mempunyai suatu keahlian teoritis yang dapat dipelajari, tanpa memperdulikan kebutuhan moral orang yang mempelajari etika. Moral bagaikan ban pengaman yang dilempar kekolam untuk menyelamatan orang yang mau tenggelam, sedangkan etika mengajarkan orang bagaimana ia dapat berenang sendiri. maka ajaran moral langsung formatif bagi manusia, sedangkan pelajaran etika secara langsung hanya menyampaikan kecakapan secara teoritis.
Menurut Franz ada alasan mengapa pada zaman sekarang etika sangat diperlukan. Pertama, kehidupan dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk juga dalam bidang moralitas. Setiap hari manusia saling bertemu, mereka dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan, karena mereka menganggap bahwa faham mereka yang paling benar. Kedua, manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan terjadi di bawah hantaman kekuatan mengenai semua segi kehidupan, yaitu gelombang modernisasi. Gelombang ini telah melanda sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok terpencil. Rasionalisme, individualisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme, sekulerisme, pluralisme religius, serta pendidikan moderen secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia.Ketiga, proses perubahan sosial budaya dan moral telah dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi sebagai juru penyelamat. Di sini, dengan etika dapat sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan obyektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar tidak mudah terpancing, tidak ekstrim, tidak cepat-cepat memeluk segala pandangan baru, tetapi juga tidak menolak nilainilai hanya karena baru dan belum biasa. Kempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka, di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah. Dalam bidang moral Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bukan baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, pembantu rumahtangga, olahragawan atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikanya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Menurut pandangan Franz manusia dapat dinilai dari banyak segi, manusia sebagai manusia ataupun manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki kepribadian, seperti contoh pak Iman adalah seorang dosen yang buruk, karena ia selalu hanya membaca teks bukunya saja saat mengajar, sehingga mahasiswa sering mengantuk, tetapi disamping itu ia seorang manusia yang baik. Maksudnya bahwa pak Iman selalu membantu para mahasiswa, ia jujur dan dapat dipercaya, ia tidak akan mengatakan yang tidak benar dan selalu bersikap adil. Penilaian pertama tentang pak Iman bukan penilaian moral,sedangkan penilain yang kedua adalah penilaian yang bersifat moral. Penilaian pertama hanya menyangkut satu segi sektor tertentu pada pak Iman, sama seperti orang sedang menilai mobil bagus dan masakan yang enak. Sedangkan penilaian bahwa pak Iman selalu baik hati, itu menyangkut mereka sebagai manusia. Penilaian bahwa pak Iman itu orang yang baik memandang dia dari segi hatinya, wataknya, sikapnya, inti kepribadianya. Dengan kata lain, penilaian mengenai pak Iman adalah sebagai manusia. Karena itu pernilaian kedua bersifat moral.


2. Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Untuk menghadapi berbagai macam moralitas yang ada dalam masyarakat yang plural ini sangat diperlukan sebuah tolok ukur supaya hasil dari penilai[1]an itu tidak bersifat subyektif. Franz Magnis Suseno dalam hal ini menyatakan bahwa dalam menilai tindakan manusia secara moral diperlukan tolok ukur paling akhir yaitu beberapa prinsip dasar moral. Pada prinsip-prinsip ini semua norma moral yang lebih konkrit harus diukur. Adapun prinsip-prinsip moral dasar tersebut adalah sebagai berikut :
a. Prinsip sikap baik
Menurut Franz Prinsip sikap baik ini mendasari semua norma moral, karena pada dasarnya manusia harus bersikap baik terhadap siapa saja. Bersikap baik dalam arti memandang seseorang atau sesuatu tidak hanya sejauh bagi dirinya sendiri. Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan seseorang atau sesuatu demi dia itu sendiri. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan secara kongkrit tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkrit itu. Prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realita, supaya diketahui apa yang masing-masing baik dalam setiap situasi. Kalau itu sudah diketahui, maka diketahui juga bagaimana prinsip sikap baik harus diterapkan dalam situasi ini. Tentang prinsip baik ini Franz juga berpandangan bahwa norma yang lebih umum dapat disimpulkan dalam prinsip ini.22 Atas dasar bahwa mengerti kenyataan adalah sesuatu yang baik, maka prinsip sikap baik mengizinkan untuk selalu menganjurkan bahwa semua orang wajib untuk bicara yang benar. Yang dapat ditarik dari prinsip sikap baik adalah misalnya kaidah maksimalisasi akibat baik, kaidah bahwa tidak boleh merugikan orang lain, kaidah bahwa semua orang wajib menghormati kebebasan orang lain Prinsip sikap baik mempunyai arti yang sangat besar bagi kehidupan manusia, karena mempunyai dasar dalam struktur psikis manusia. Misalnya seseorang dapat bertemu dengan orang lain yang belum dikenal tanpa rasa takut. Dengan prinsip dasar ini seseorang dapat berbaik sangka (khusnudlan) terhadap orang lain bahwa orang lain itu tidak akan mengancam atau merugikan terhadap dirinya. Hal itu juga dapat dilihat terhadap seseorang yang tidak saling kenal, akan tetapi secara spontan orang itu akan membantu orang lain dalam kesusahan. Andaikata sikap dasar manusia itu negatif, maka sikap antar manusia saling mencurigai, bahkan saling mengancam dan hubungan antar manusia tidak harmonis. Jadi prinsip sikap baik bukan hanya dipahami secara rasional, melainkan juga suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia. Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik melingkupi sikap dasar manusia yang harus meresapi segala sikap kongkret, tindakan dan kelakuanya. Prinsip ini menyatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan yang khusus manusia harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi manusia. Yang dimaksud adalah bukan semata-mata perebutan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemudian baik terhadapnya. Bersikap baik berarti menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah kematian demi dia itu sendiri, tidak ada tendensi lain kecuali demi dia sendiri. Sikap baik itu harus dinyatakan secara konkrit tergantung pada apa yang baik dalam situasi kongkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas supaya dapat diketahui apa-apa yang baik bagi yang bersangkutan. Kalau itu sudah diketahui, maka diketahui juga bagaimana prinsip sikap baik harus diterapkan dalam situasi itu. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk akal bahwa manusia harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.
b. Prinsip keadilan
Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar manusia bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas. Hal itu dinyatakan Franz tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil yang dibutuhkan manusia, seperti uang yang telah diberikan kepada seorang pengemis (menjadi hak orang lain) tidak boleh dibelanjakan untuk keluarganya sendiri, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberikan hati juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itulah yang disebut prinsip keadialan.Tuntutan keadilan yang paling umum dan mendasar adalah agar semua orang dalam situasi yang sama dan diperlakukan dengan sama. Dengan dasar seperti itu Franz menegaskan bahwa keadilan mengungkapkan sikap hormat terhadap martabat dan kesamaan antara semua orang sebagai manusia. Secara lebih kongkrit, keadilan menuntut agar kepada siapa saja diberikan apa yang menjadi haknya.
Keadilan adalah norma dan keutamaan yang paling mendasar dalam hubungan antar manusia. Kebaikan atau belas kasihan tanpa keadilan secara moral tidak bernilai, melainkan merendahkan orang yang menerimanya. Yang paling dituntut dari seseorang adalah agar memperlakukan setiap orang yang berhubungan denganya secara adil. Dapat disimpulkan bahwa prinsip keadilan mengandung kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dalam pembagian dari pada yang baik dan yang buruk, dalam pemberian bantuan, dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan mereka. Kewajiban ini hanya mengizinkan perkecualian apabila perilaku yang tak sama dapat dibenarkan berdasarkan prinsip sikap baik atau karena dalam jangka panjang akan menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Intinya setiap perlakuan yang tidak sama menuntut pertanggungjawaban khusus.
c. Prinsip hormat pada diri sendiri
Dalam prinsip ketiga ini Franz mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.Prinsip ini berdasarkan pada paham bahwa manusia adalah person atau dipandang secara individu, yang mempunyai pengertian dan kehendak, yang memiliki kebebasan dan sura hati dan makhluk yang berakal budi. Manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Manusia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih jauh, melainkan manusia juga wajib memperlakukan dirinya dengan hormat, dan menghormati martabat dirinya. Dengan argumentasi di atas prinsip ini mempunyai dua tujuan. Pertama, supaya manusia tidak memberikan dirinya untuk diperas, diperalat, diperkosa, dan diperbudak. Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakuan seperti itu jangan membiarkan begitu saja apabila ia dapat melawan. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu dengan tidak wajar berarti bahwa kehendak dan kebebasan secara eksistensial dianggap sepi atau keberadaanya dianggap sama dengan tidak adanya. Kedua, manusia jangan sampai membiarkan dirinya terlantar. Manusia mempunyai kewajiban tidak hanya kepada orang lain, melainkan juga terhadap dirinya sendiri. Manusia wajib mengembangkan diri. Membiarkan dirinya terlantar berarti ia menyia-nyiakan bakat dan kemapuan yang dipercayakan Allah kepadanya.
Manusia mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi1 oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri. Jadi jangan cepat mengatakan “egois” terhadap orang yang sedang memperhatikan dirinya. Seseorang tidak dapat mencintai sesame kalau ia tidak mencintai dirinya sendiri. Kemampuan untuk berkomunikasi, untuk menerima orang lain seadanya, untuk menghargai orang lain, untuk bersikap baik terhadap sesama, itu sama besar atau kecilnya kemampuan orang itu untuk menerima dirinya sendiri, untuk merasa mantap dan gembira dengan dirinya. Hanya orang-orang yang berkepribadian sangat kuat dan mantap dapat mengorbankan diri seluruhnya bagi orang lain tanpa kehilangan harga diri. Maka kebaikan dan keadilan yang ditujukan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap menghormati dirinya sendiri sebagai makhluk yang bernilai bagi drinya sendiri. Perbuatan baik terhadap orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.
3. Kesadaran Moral
Franz Magnis Suseno Membedakan antara norma moral dan norm-anorma lainnya, seperti norma hukum, norma sopan santun. Norma hukum hanya membahas apakah tindakan itu salah atau benar ditinjau dari sisi hukum, kalau memang salah, maka perbuatan itu bisa dikenai hukuman. Sedangkan norma sopan santun membicarakan apakah perbuatan manusia secara lahir menunjukan kesopanan ataukah tidak. Norma moral tidak terletak di dalam isi dari norma itu suatu larangan misalnya “jangan mencuri”, dapat sekaligus merupakan norma sopan santun dan norma hukum, maka dari itu sifat moral tidak hanya bersifat lahiriyah saja, akan tetapi unsur dalam kesadaran manusia yang menyertai kesadaran tentang norma-norma. Menurut Franz kesadaran moral itu muncul misalnya apabila seseorang harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak dan kebahagiaan orang lain. Contoh si A meminjamkan uang Rp. 10.000,- kepada janda miskin. Kemudian uang itu akan dikembalikan, tetapi karena keliru dikembalikanya Rp. 50.000,-. Setelah janda miskin itu pergi, timbul pertanyaan pada diri si A : Apa yang harus di perbuat?, ternyata dalam kesadarannya si A, ada beberapa unsur. Di satu fihak
• Si A menyadari bahwa kelebihan Rp. 40.000,- menguntungkandirinya.
• Si A tidak takut akibat-akibat buruk yang ditimbulkan, apabila uang tidak dikembalikan, karena tidak bisa dibuktikan bahwa ia bersalah.
• Si A berpendapat bahwa janda itu kiranya tidak akan menyangka bahwa kekurangan Rp. 40.000,- dalam kasnya itu karena uangnya lari kepada dirinya.
• Jadi si A berkeinginan mendiamkan kekeliruan janda itu. Di lain fihak si A sadar bahwa :
• Janda itu miskin dan kiranya akan menderita bersama anaknya apabila uang itu tidak dikembalikan.
• Bahwa janda itu berhak atas uangnya.
• Maka si A tetap merasa wajib mengembalikan uang janda miskin itu. Kesadaran yang terakhir inilah yang disebut Franz sebagai kesadaran moral.Yang paling menyolok dalam kesadaran moral adalah keinsyafan bahwa si A merasa mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu. Si A sadar bahwa dia merasa berkewajiban untuk mengembalikan uang sebesar Rp. 40.000,- itu kepada janda miskin.”Wajib” itu suatu unsur yang langsung disadari olehnya, dan dapat digambarkan sebagai macam ikatan atau keharusan yang membebani kehendak seseorang. Kewajiban moral adalah kewajiban yang mengikat batin seseorang terlepas dari pendapat masyarakat, teman, atau atasan, dan kewajiban moral itu berlaku mutlak.
4. Etika kebijaksanaan
Tuntutan dasar etika adalah tuntutan untuk menyesuiaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu. Kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan mempunyai daya ikat tuntutan-tuntutan terhadap individu. Dalam etika yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainya menurut Franz adalah perilaku baik dan jahatnya, atau manusia yang bijaksana dan yang bodoh.34 Pembedaan manusia yang bijaksana dan yang bodoh sangat kental sekali misalnya dalam masyarakat Jawa. Siapa yang mengejar hawa nafsunya, yang hanya memikirkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan egois pada dirinya sendiri, ini dianggap rendah dan disayangkan. Kelakuannya menunjukan bahwa ia belum tahu cara hidup mana yang menjadi kepentingannya yang sebenarnya. Dan sebaliknya orang yang bijaksana menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah hidup yang sesuai dengan peraturan-peraturan moral, bahkan ia harus melawan nafsunya dan harus rela untuk tidak langsung memenuhi semua kepentingan jangka pendek. Dengan hal ini juga, sayogyanya tidak terlalu mengecam terhadap orang yang melanggar peraturan-peraturan moral secara cepat atau tergesa-gesa. Selama ia belum mengerti, dan ia tidak bisa ditolong, maka hendaknya tetap diusahakan agar ia tidak merugikan orang lain. Disamping itu, ia selalu diharapkan nantinya bisa mengerti pula. Pengertian itu tidak bisa dipaksakan. Pengertian yang dimaksud di sini adalah pengertian bahwa yang paling masuk akal bagi individu dan bagi siapa saja ialah hidup sesuai dengan peraturanperatuaran moral.
Begitu juga Franz berpandangan bahwa rasionalitas suatu hidup moral yang dialami oleh seseorang secara langsung adalah dalam “rasa”.35 Rasa atau perasaan itu adalah mendengarkan suara hati, untuk mengarahkan diri pada yang betul-betul bernilai terhadap tanggungjawab sebagai manusia. Dengan rasa, dimaksudkan mampu untuk “merasakan” segala dimensi hidup, dari perasaan jasmani inderawi, melalui penghayatan suatu hubungan interpersonal sampai pada kesadaran batin akan kenyataan yang sebenarnya.Dalam rasa realitas sebenarnya adalah membuka diri. Dari tingkat rasa seseorang, kedalaman kepribadianya dapat diketahui. Rasa yang dangkal menunjukan kepada kepribadian yang dangkal. Sedangkan rasa yang mendalam menunujukan bahwa orang itu telah sampai ke dimensi realitas sebenarnya. Orang yang telah mengembangkan rasanya dapat menempatkan diri sesuai dengan keselarasan realitas seluruhnya. Dari rasa yang tepat, dengan sendirinya mengalir sikap yang tepat terhadap hidup, terhadap masyarakat, dan terhadap kewajiban dan tanggungjawabnya. Apa yang ada dalam filsafat jawa di sebutkan bahwa rasa adalah bukan lain dari pada sikap moral dasar seseorang. Mencapai rasa yang mendalam berarti bahwa orang itu sudah mantap dalam ketekatan untuk selalu memilih yang baik dan yang benar. Orang itu tidak lagi dangkal dan kacau jiwanya, maka ia sanggup bertindak semata-mata dengan melihat pada tanggung jawabnya. Franz juga menjelaskan bahwa dengan rasa manusia akan menyadari dimensi-dimensinya yang sebenarnya, dengan sendirinya akan hidup sesuai dengan kewajiban-kewajibanya, dan karena itupun tidak ada gunanya untuk  mengharapkan suatu hidup moral dimana belum ada “rasa” yang sesuai. Dalam rasa individu mengalami bahwa suatu hidup moral cocok dengan kodratnya sendiri. Rasa dapat lebih diperincikan karena mempunyai aksentuasi yang berbeda-beda. Rasa seseorang itu berbeda-beda tergantung dari cara hidup, tingkat pendidikan, dan orientasi kehidupan orang itu.40 Bagi penduduk desa contoh saja, suatu hidup sesuai dengan adat istiadat menghasilkan rasa aman dan tenteram dalam kesatuan kelompok, kebebasan dari ketegangan antara tetangga dan dari rasa kaget yang mengejutkan, ia sadar bahwa ia hidup selaras dengan kekuatan-kekuatan alam dan rohani dalam lingkungan desanya dan dengan demikian terlindung secara maksimal terhadap wabah kelaparan, penyakit, bencana alam, dan perang. Pendek kata, rasa orang desa terutama rasa “slamet”. Ia secara langsung mengalami bahwa kesalamatannya dalam semua dimensi tadi akan dipertaruhkan andaikata ia mau menuruti hawa nafsu dan pamrihnya.Orang yang selalu menuruti dan mengembangkan rasa individualnya yang berupa hawa nafsu dan pamrih menurut Franz nantinya akan mengalami frustasi dan kecewa, karena hawa nafsu dan pamrih tidak dapat dipisahkan dari frustasi dan kekecewaan.41 Perasaan itu bisa mengganggu perasaan hati. Rasa kecewa itu pula bisa menyebabkan orang sakit. Melalui rasa bahwa yang paling cocok, sehat dan sesuai adalah untuk tidak mengejar kepentingankepentingan sempitnya sendiri saja, kalau orang Jawa mengatakan “sepi ing pamrih”. Dengan begitu orang bisa memahami bahwa setiap orang mempunyai tugasnya dalam dunia, dan yang paling baik, paling menenangkan dan paling sehat bagi semua pihak adalah apabila mereka memenuhi kewajiban-kewajiban mereka masing-masing, orang jawa mengatakan “rame ing gawa”. Semakin mempunyai rasa manusia mendalami dimensi batin keakuanya, semakin ia akan sanggup untuk menghayati suatu pemenuhan ganda ekisistensinya sendiri.42 Pandangan Franz yang demikian menjelaskan bahwa manusia akan menemukan dirinya yang sebenarnya dengan semakin intensif, dan pada dasar kebatinanya ia akan bertemu dengan realitas yang Illahi. Pengalaman itu mempunyai makna dalam dirinya sendiri, dia semakin menemukan dirinya sendiri yang sebenarnya, maka ia semakin bebas dari keterasingan (ia terasing dari dirnya sendiri selama ia terikat dengan dunia luar), ia mengaktualisasikan realitasnya yang sebenarnya dan dengan demikian mengalami pemenuhan diri yang setinggi-tingginya. Jadi usaha untuk bersikap sepi ing pamrih dan memperdalam rasa memuat rasionalitasnya dalam dirinya sendiri. Melaui usaha itu manusia akan semakin intensif memiliki diri sendiri, dan kepemilikan itu langsung dan secara intensif dialami sebagai nilai pada dirinya. Apabila individu dalam rasa menemukan hakekat sebenarnya, ia semakin sadar akan kebenaran hakekatnya yang paling dasar. Bahwa pada dasarnya kebatinan dalam suksmanya, ia bersatu dengan jiwa yang Illahi yang menyeluruh. Menemukan dirinya sekaligus menemukan yang Illahi. Usaha mencari yang Illahi tidak perlu dibenarkan dari luar karena maknanya terasa dalam pancaran itu sendiri, dalam pengalaman kebahagiaan yang menyertainya. Dengan pengalaman ganda itu, manusia menemukan dirinya  yang sebenarnya, sehingga ia bisa sampai pada cahaya numinus yang Illahi atau dalam tingkat ma’rifat, dan ia niscaya akan mendapatkan suatu kenikmatan dan keasikan yang maksimum. Sikap dalam semua dimensi tidak boleh hanya ditentukan oleh pertimbangan untung rugi diri sendiri, oleh keperluan masyarakat terhadap pembangunan, oleh kebanggaan nasional, oleh keinginan memenangkan kelompoknya sendiri, oleh dogma-dogma ideologi, melainkan harus ditentukan sesuai dengan martabat dan tanggungjawab manusia sebagai manusia.

BAB III
KESIMPULAN
Menurut Franz Magnis Suseno etika adalah sebagai usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup,apabila ia menjadi baik.ia juga berpendapat bahwa etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilahistilah moral. Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.
Menurut Franz ada alasan mengapa pada zaman sekarang etika sangat diperlukan. Pertama, kehidupan dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk juga dalam bidang moralitas. Setiap hari manusia saling bertemu, mereka dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan, karena mereka menganggap bahwa faham mereka yang paling benar. Kedua, manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan terjadi di bawah hantaman kekuatan mengenai semua segi kehidupan, yaitu gelombang modernisasi.






Belum ada Komentar untuk "Pendapat Franz Magmis Suseno Tentang Etika"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel